Jumat, 01 November 2013

PAKAT DAYAK, ORGANISASI PEMBEBASAN YANG DILUPAKAN

Pakat Dayak, Organisasi Pembebasan Yang Dilupa.

Melupakan sejarah berarti mengabaikan dan menghilangkan peran generasi terdahulu, satu kesalahan fatal bagi generasi muda saat ini. Hal ini, dikemukakan oleh budayawan dan sejarahwan Dayak, Kusni Sulang atau yang lebih populer dikenal dengan JJ.Kusni.
Kusni membawa penulis jauh ke alam perjuangan melawan kolonial. Bercerita tutur mengenai satu organisasi kedaerahan di Kalimantan yang berjuang secara nasional dan internasional, namun tak pernah tertulis di versi sejarah pemerintah. Pakat Dayak atau Sarekat Dayak.
Sarekat Dayak berdiri di tahun 1919, sang pendiri adalah Hausman Baboe. Salah satu tokoh dayak yang juga ‘hilang’ dalam literatur sejarah nasional. Pemakaian nama sarekat, menurut Kusni bukan satu kebetulan semata. Kata Sarekat dipilih Hausman Baboe karena kedekatan beliau dengan salah satu tokoh pergerakkan nasional, HOS Tjokroaminoto. Hausman Baboe juga lanjut Kusni adalah sahabat karib dari Agus Salim dan Ki Hajar Dewantara.
“Berdirinya Sarekat Dayak 25 tahun setelah titik hitam bagi suku Dayak di zaman kolonial. Titik hitam yang saya maksud adalah penandatanganan Tumbang Anoi di tahun 1894. Kesepakatan ini menurut saya, titik hitam karena dengan sukarela suku Dayak menjadi anak jajahan dari bangsa kolonial Belanda. Sebagian kalangan justru menyebut Tumbang Anoi sebagai fajar peradaban, ini jelas keliru,” jelas Kusni ,selasa (19/02/2013).
Sekedar informasi, Tumbang Anoi merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah. Tumbang Anoi menjadi tempat rapat akbar untuk mengakhiri tradisi mengayau (memenggal kepala musuh) pada tahun 1894. Brus, Residen Belanda Wilayah Kalimantan Tenggara, pada Juni 1893 mengundang semua kepala suku yang terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk membicarakan upaya perdamaian. Salah satu isi kesepakatan damai tersebut adalah masuknya suku dayak sebagai anak jajahan bangsa Belanda.
Tidak seperti Tumbang Anoi menurut Kusni yang menjadikan suku dayak sebagai anak jajahan kolonial, Sarekat Dayak yang berdiri kemudian menjadi satu organisasi yang terstruktur, berjuang membebaskan diri dari penjajahan kolonial Belanda, mengangkat harkat dan derajat suku Dayak,
“Cara pemberdayaanya jelas, tidak seperti periode ‘fajar peradaban’ di pertemuan Tumbang Amoi. Sarekat Dayak bergerak di bidang pendidikan, di bidang ekonomi dan bidang pers. Di tingkat nasional, mereka ikut dalam sumpah pemuda 1928, berjuang untuk pembentukan parlemen Indonesia,” kata Kusni.
Sarekat Dayak kemudian mendirikan media koran untuk alat perjuangan mereka, bernama ‘Soeara Pakat’. Ini merupakan karya jurnalistik pertama orang-orang Dayak. Koran ini berisi pemikiran-pemikiran tokoh Sarekat Dayak untuk memerdekakan diri dari penjajahan Belanda.
Di tahun 1936 Sarekat Dayak berubah menjadi ‘Pakat Dayak’ – beberapa versi menyebut tanggal 20 Agustus 1938 – . Menurut Kusni kata ‘Pakat Dayak’ digunakan agar lebih komunikatif dengan orang-orang suku Dayak.
Fase selanjutnya, ketika partai politik tumbuh kembang di Indonesia pasca proklamasi, banyak tokoh Pakat Dayak yang kemudian bergabung dengan partai politik. Karena jiwa nasionalis mereka, dua partai nasionalis, PNI dan Partindo menjadi wadah berpolitik untuk tokoh-tokoh Pakat Dayak.
“Jiwa mereka sudah nasionalisme. Tak mengherankan fase selanjutnya tokoh-tokoh Pakat Dayak bergabung dengan partai seperti PNI dan Partindo. Juga harus diingat, semenjak Hausman Baboe memproklamirkan diri untuk setia ke NKRI, jiwa nasionalisme tokoh Dayak telah teruji,” jelas Kusni.
Juga harus diingat kata Kusni, Hausman Baboe pendiri Pakat Dayak merupakan individu berpikiran terbuka. Ia bergabung dengan Sarikat Islam (SI) Merah tetapi juga ikut membantu perjuangan SI Putih,
“Pemikiran Hausman sangat terbuka, ia tak mempertentangkan soal SI Merah dan Putih, asal tujuannya untuk merdeka dari bangsa kolonial Belanda, ia berjuang bersama. Tapi karena keterlekatannya dengan SI Merah, Hausman kemudian di cap komunis. Nama beliau pun ‘tenggelam’, tak jauh berbeda dengan Orgnasasi Pakat Dayak yang ia dirikan,” jelas Kusni.
Di akhir penjelasannya, Kusni menuturkan semangat Pakat Dayak, adalah kemerdekaan dalam arti luas. Serangkaian nilai yang terkandung dalam kata Republik: kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, sesuai dengan konsep hidup-mati Dayak Lahirnya Pakat Dayak justru yang lebih pantas diperingati sebagai hari kebangkitan kesadaran nasional masyarakat Dayak menurut Kusni, karena perjuangan Pakat Dayak berdasar pada,
“konsep hatamuei lingu nalata (saling mengembara jiwa dan pikiran satu dan yang lain) dan konsep lainnya hatindih kambang nyahun tarung, mantang lawang langit (berlomba-lomba menjadi anak manusia yang manusiawi),” pungkas Kusni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar